nilai pancasila dan islam wasathiyah
Oleh : salsabila QA
Salah satu tujuan dari terbentuknya sebuah negara adalah memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat, tanpa adanya diskriminasi terhadap pihak manapun. Tak bisa dibayangkan jika negara yang demikian ragam baik suku, agama dan budaya ini tak mampu di akomodir melalui suatu narasi persatuan yang mendalam. Maka, barang tentu akan menjadi hal yang mustahil untuk berdiri kokoh sebuah simbol dan ataupun identitas persatuan bernama Indonesia. Sebagai sebuah simbol dan atau identitas maka menjadi penting bagi sebuah negara untuk melahirkan sebuah ide gagasan yang bisa menjadi dasar ideologi penopang keberlangsulangan dari sebuah negara.
Indonesia telah banyak melewati pergumulan perjalanan sebagai sebuah proses menemukan dasar dan ideologi tersebut. Di mulai dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dilantik pada 28 mei 1945 ditugaskan untuk merumuskan mengenai beberapa hal yakni bentuk negara, dasar negara dan hal hal lainnya yang berguna untuk membangun Indonesia. Para anggota BPUPKI mempertanyakan mengenai "Philosofische Grondslang" (Landasan filosofis) untuk negara yang akan di didirikan, Soekaarno dan Mohammad Yamin lah orang yang kemudian menyatakan siap untuk menjawab hal tersebut. Soekarno dan Mohammad Yamin mengajukan lima dasar yang kemudian disebut dengan Istilah Pancasila. Sedangkan, dari Kalangan Islam yang bersemangat adalah Ki Bagus Hadikusuma yaitu Tokoh Muhammadiyah yang mengusulkan bahwa Islam dapat menjadi dasar Negara.
Usulan yang disampaikan oleh Ki Bagus Hadikusuma menghasilkan pergumulan perdebatan Ideologis yang demikian Tajam antara Wakil-wakil Islam dengan Golongan Nasionalis- Sekuler, sehingga ini semakin membuat konstelasi politik menjelang lahirnya Indonesia memanas.
Setelah mengalami pergumulan yang demikian panjang, dengan latar belakang alasan yang berbeda. Wakil kaum Nasionalis-Sekuler dengan alasan keberagaman, dan Wakil Islam yang menghendaki dasar islam dengan alasan mengenai mayoritas masyarakat islam. Akhirnya terjadi sebuah kesepakatan pada tanggal 22 juni 1945 yakni sintesis yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI.
Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberikan anak kalimat pengiring, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moehammad Yamin.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian bangsa kita belahan timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.
Alasan paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syariat Islam adalah persoalan minoritas non-Muslim. Kekhawatiran minoritas non-Muslim seperti ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawan Kristen, Th. Sumartana. Menurutnya, "Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekedar "para penumpang" atau "para tamu", bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai "orang asing" di negara sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini. Dan pada akhirnya di sepakati lah pada poin sila ke-1 yakni “Ketuhanan yang maha esa” yang kemudian diyakini sebagai jalan tengah untuk Indonesia yang demikian Plural.
Komentar
Posting Komentar