Harmoni dalam Secangkir Kopi


Dewasa ini menyoal hubungan kita dalam bertetangga, berbangsa dan bernegara kian hari kian memudar. Padahal sudah seyogyanya dalam menjalani hidup yang dinamis ini perlu adanya rasa untuk saling memahami dan menghormati satu dengan yang lain, serta tetap ada ruang-ruang yang tidak perlu untuk kita jamah dan kemudian diumbar ke khalayak ramai. Meminjam istilah salah seorang pegiat literasi bernama Zelahenfi, ia mengatakan bahwa sebuah kehangatan dapat diartikan sebagai kehidupan yang tidak statis, sehat dan bebas untuk berekspresi. Bukan malah sebaliknya ; dingin, terkotak-kotak dan kehidupannya  penuh dengan aktivitas yang cenderung individualis.

Dalam konteks hidup sebagai makhluk sosial, seseorang memang tidak bisa hidup sendiri yang dalam bahasa biologinya kita mengenalnya dengan istilah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dan saling berbagi. Oleh sebab itu membangun dan merawat keharmonisan hubungan kita dengan semua orang memang perlu ditanamkan sejak usia dini. Menanamkan nilai-nilai keagamaan, norma-norma dan adat istiadat masyarakat setempat merupakan satu contoh konkret dalam mengantisipasi terciptanya insan yang hanya mementingkan dirinya sendiri. 

Mungkin anak sekarang lebih familiar dengan kata-kata dan prilaku yang seharusnya tidak terserap dalam memori ingatan mereka, karena bagaimanapun juga apa yang mereka saksikan hari ini akan diolah dan menjadi perbendaharaan dalam otak mereka. Jika suatu saat dibutuhkan maka refleks yang akan mereka keluarkan dalam bentuk ucapan ataupun tindakan berasal dari perbendaharaan otak mereka. Maka sungguh disayangkan jika kita melihat apa yang terjadi hari ini, prilaku-prilaku liar elit politik yang saling menghujat dan mengeluarkan statemen ujaran kebencian misalnya, hal tersebut sudak tidak bisa dibendung lagi. Satu-satunya filter terbaik untuk menyaring polusi yang berbentuk kata-kata dan prilaku adalah dengan mengontrol panca indera kita.

Dahulu para kakek nenek kita mungkin sudah terbiasa apabila guyon sambil nyeruput secangkir kopi dengan tetangga yang mungkin berbeda agama sekalipun tanpa adanya jurang pemisah, tetapi berawal dari canda tawa lah sebenarnya hubungan berbangsa dan bernegara  bisa dirajut dengan apik. Tidak seperti hari ini, bahwa simbol-simbol keagaman malah dijadikan sebagai sekat pemisah dan tidak diimplementasikan dalam satu sistem nilai untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita. Sebagai makhluk yang oleh Tuhan, kita diberikan akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan maka semestinya kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita-cerita orang terdahulu tentang bagaimana harmonisnya tatanan masyarakat saat itu yang jauh dari keretakan. 

Kemudian, bagaimana islam memandang kebhinekaan?, sebenarnya Muhammad saw sebagai suri tauladan kita sudah memberikan tauladan tentang hal ini. Dalam konteks bersosialisasi misalnya,  Muhammad muda sudah mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang baik, ramah dengan siapapun, jujur dan lain sebagainya. Yang sudah barang tentu sifat tersebut sudah melekat pada diri beliau sejak kecil. Sebagai pembawa Risalah akhir zaman, tutur kata dan prilakunya seolah menjadi prototipe terbaik ummat manusia serta tak lupa bahwa beliau tidak kaku dalam bergaul. Dan yang paling utama adalah bahwa Beliau mampu menjadi  contoh pribadi yang sempurna dalam menerapkan nilai-nilai islam dalam semua lini kehidupan. 


Penulis : Salman Rifqi Saputra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara akh, ukh, sis, atau cuk!

move on

Postmodernisme : Patogen bagi kita?