Postmodernisme : Patogen bagi kita?
Percaturan dunia abad ini memang menuntut kita untuk bisa berbuat lebih. Lebih maju, lebih mapan, dan utamanya lebih bisa membangun jejaring. Layak diakui, bahwa dinamika dan persoalan yang muncul di era post modern ini jauh lebih kompleks dari sekedar isu perang nuklir Iran–AS. Pasalnya di berbagai aspek kehidupan akan ada banyak hal yang tak terkendali. Meminjam istilah Ghozali bahwa postmodern merupakan gejala yang muncul untuk mengoreksi dan merevisi modernisme yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
Acapkali, kemajuan dan
kegemerlapan peradaban di era modern ini hanya dipandang dari segi positifnya
saja. Padahal Giddens sudah mewanti-wanti bahwa modernisme akan banyak menimbulkan
mala petaka bagi keberlangsungan semesta. Perebutan wacana yang semestinya
mengarah pada sesuatu yang konstruktif, membangun tatanan dan system nilai
peradaban. Saat ini malah banyak menggema wacana-wacana yang destruktif. Boleh
jadi ketika hal ini tidak menemukan titik temu dalam dialog, maka disorientasi
adalah kado natal untuk kita semua.
Banalitas pemikiran manusia
postmodern pun menjadi salah faktor yang menyebabkan manusia kehilangan jati
dirinya. Hal ini merupakan ekspresi dari ketidakmampuan memfiltrasi informasi
yang bersifat toksin. Di jagad raya permedsosan misalnya ; artikel palsu,
plagiarism, berita hoaks banyak bersliweran yang memang sudah tidak bisa
dihentikan. Dan pada akhirnya kita akan hidup bersandingan dengan ketidakpastian,
ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan. Konsep seperti inilah yang sempat
diutarakan oleh Jean Baudrillard, tokoh kenamaan yang juga filsuf asal Prancis
ini lebih suka menyebut kondisi masyarakat saat ini dengan istilah kehidupan
yang hiperealitas. Yakni kondisi dimana manusia kehilangan identitas dan jati
dirinya, bahkan sekedar untuk menjadi seorang manusia yang utuh.
Melihat realita yang sudah
serba bebas ini, berbagai pemikiran yang mungkin berbenturan dengan system
nilai dan kebudayaan kita, maka perlu memberikan pemahaman nilai ideologis yang
seharusnya sudah mulai ditanamkan sejak dini. Agama dan norma sosial merupakan
segmen yang harus terdeliveri ke generasi yang sedang bertarung bebas di arena
bernama globalisasi ini. Pasalnya, kedua unsur inilah yang paling kuat daya
tahannya terhadap patogen globalisasi yang siap kapan saja menyerang sistem
imun kita.
Terlebih hegemoni barat
terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia cenderung dominan.
Konsumerisme misalnya, berbagai produk seperti fashion dan makanan siap saji
ala-ala barat datang seperti gelombang yang tidak bisa dihentikan. Mirisnya
gengsi menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Mayoritas penduduk negara berkembang lebih suka berbelanja untuk memenuhi gaya
hidup, bukan untuk kebutuhan hidup.
Meskipun postmodern ini memiliki dampak negatif seperti yang disebutkan di atas. Tetap saja, arus positifnya pun nyata. Bisa kita rasakan seperti; perlawanan terhadap monopoli, keterbukaan terhadap kebinekaan dan toleransi masyarakat serta semua yang serba bisa terkoneksi. Oleh karena kita tidak bisa menghentikan arus yang sangat dahsyat ini. Maka memperluas sudut pandang dengan cara terus belajar adalah sesuatu hal yang menjadi dasar bagi kita, untuk menghadapi pergulatan zaman yang semakin liar tak terkendali.
Oleh : Salman Riqi Saputra
Komentar
Posting Komentar