Malas Membaca Menyebabkan Gagal Otak
Membaca, satu hal yang terlintas dalam benak ini tentang kata pembuka artikel ini adalah sesuatu yang menyenangkan jika memang apa yang dibaca benar-benar menarik bagi kita. Namun nyatanya sebagian orang sangat sulit untuk sekedar membaca sebuah buku, jika mereka tahu bahwa dengan jalan membaca otak kita mendapat asupan nutrisi mungkin stetemen mager sudah punah dari perbendaharaan kamus di jagad pemikiran kita. Sebenarnya banyak pertimbangan ketika saya akan menulis tentang artikel ini, di satu sisi saya merasa minder sebab memang negeri ini mengalami kemunduran dalam hal budaya membaca, namun di sisi yang ini penulisan artikel ini perlu juga sebagai bentuk refleksi kita bersama.
Mari flashback sejenak di era awal kemerdekaan, The Founding Fathers negeri ini (tokoh kemerdekaan kita) memiliki etos membaca yang sangat kuar biasa. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan tokoh lainnya merupakan prototipe yang cukup apik jika kita ingin memiliki budaya membaca yang bisa dibilang intens, minimal semangat di awal meskipun di pertengahan mulai kendor. Banyak riwayat yang menceritakan bagaimana hangatnya hubungan Bung Hatta dengan koleksi buku-bukunya, sampai ketika ia dalam masa pengasingan sebagai tahanan politik selama 6 tahun, bukunya lah yang setia menemani tokoh proklamasi itu. Satu tahun di Boven Digul (Papua) dan kemudian dipindahkan ke Banda Neira (Maluku), Hatta menjadikan sebanyak sekitar 16 koper berisi buku sebagai sahabat baiknya. Pun demikian dengan tokoh kemerdekaan yang lain. Mustahil jika tanpa membaca mereka mampu menjadi orator yang ulung, berdebat di sidang PBB, menulis banyak buku sampai pada puncaknya mampu menghapuskan penjajahan dari atas muka bumi pertiwi.
Budaya literasi dalam hal ini membaca dan menulis sebenarnya satu hal yang musti ditunaikan oleh semua orang. Sebab ketika seseorang tidak memiliki rutinitas membaca, penulis khawatir otak kita akan mengalami “Gagal Otak” atau disfungsi. Tingkat literasipun bisa menjadi indikator kemajuan suatu negara, sebut saja Finlandia, Selandia Baru, Norwegia dan di Asia muncul beberapa negara dengan budaya membaca yang tinggi seperti Jepang, China, Singapura dan yang lainnya (Indonesia belum masuk nominasi ya hehe). Saya ingin sedikit membahas tentang kenapa ketika kita malas membaca berakibat pada kegagalan sitem otak. Sebenarnya hal ini mungkin tidak ada dalam dunia medis, hanya sekedar analisa yang berdasar dan sedikit memberikan syok terapi kepada pemirsa supaya mau membaca. Sistem perangkat otak manusia sangatlah kompleks dan daya tampungnya mungkin dapat melampaui sistem komputer, hanya saja prilaku malas lah yang perlahan menuntunnya menuju jurang curam bernama kebodohan, ketertinggalan, keterbelakangan dan masih banyak kata yang menggambarkan dampak dari prilaku kita yang malas membaca. Saya akan coba memberikan alur kerja otak kita secara sederhana :
Dalam peta di atas sebut saja bahwa otak kita berperan sebagai prosesor, ia yang akan memproses segala informasi yang masuk dari input. Jika inputnya adalah membaca dan outputnya adalah menulis (bisa dengan karya lain). Lalu bagaimana jika inputnya nihil?, apa yang musti dikeluarkan oleh sistem pencernaan jika tidak ada asupan yang berikan? Ini sekedar pertanyaan retorik yang jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Maka saya menyebut orang yang malas membaca dengan sebutan orang yang gagal otak. Nihilnya input atau informasi dari proses membaca juga akan berdampak pada kualitas hidup seseorang, semakin banyak kita membaca maka akan semakin tinggi kualitas pemikiran kita yang tentu sangat berpengaruh pada perkataan, perbuatan dan masa depan kita.
Penulis memiliki pengalaman manarik yang sayang jika hanya ditulis di snap WA, suatu ketika rekan saya berkewarganegaraan Iran mengajak diskusi. Tentu saja saya segera mengiyakan ajakan baiknya. Diskusi kami tidak memiliki topik utama namun mengalir dengan sendirinya, tidak terlalu kaku. Kemudian keluarlah pertanyaan yang sungguh membuat penulis terkejut, gadis berkebangsaan Persia tersebut bertanya : “Berapa jam dalam sehari anda menghabiskan waktu bersama buku?”. Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat singkat : “tidak menentu” dan sayapun balik balik bertanya dengan pertanyaan yang serupa. Jawabannya cukup memuaskan, ternyata ia menghabiskan sekitar 3-4 jam dalam sehari untuk membaca dan jika ada ujian bisa 6-7 jam per hari.
Lalu... bagaimana dengan kita?
Penulis : Salman Rifqi Saputra
Mantap kakanda
BalasHapusTerimaksih SMAM 1 PRINGSEWU. Mari ber literasi bersama ☺
Hapus